Sabtu, 27 Februari 2010

Cacing Tanah Menyuburkan Tanah

*Cacing tanah menyuburkan tanah

Cacing tanah (Lumbricus rubellus) dapat menyuburkan dan menjaga kesuburan tanah. Cacing tanah awalnya akan memakan bahan organik di atas permukaan tanah. Kemudian mahluk kecil ini turun ke bagian dalam tanah, berarti cacing tanah memindahkan bahan organik dari lapisan atas menuju lapisan bawah tanah. Cacing tanah ketika berpindah ke bagian bawah juga membuat pori-pori yang dapat mem-perbaiki aerasi tanah.
"Selanjutnya cacing tanah juga mengeluarkan kotoran. Kotoran cacing tanah yang telah melewati pencernaannya itu, me-ngandung hormon-hormon tertentu yang tidak dimiliki kompos biasa dan bagus untuk pertumbuhan tanaman," kata Dr Rahayu Widiastuti, Peneliti Laboratorium Biologi Tanah Institut Pertanian Bogor menjelaskan pada beritabumi.or.id 13 Desember 2004.
Dengan cara itu, cacing tanah mampu memodifikasi ling-kungan dan menyediakan unsur hara bagi organisme lain. Cacing tanah dapat disebut sebagai ecosystem engineers.
Selain itu cacing tanah juga termasuk organisme yang berperan dalam sustainable agriculture yang berprinsip mengurangi pupuk kimia yang mencemari lingkungan dan polusi air tanah.
Cacing tanah juga dikenal sebagai dekomposer. Binatang hermaprodit (berjenis kelamin ganda) itu berperan dalam proses dekomposisi dengan menghancurkan bahan-bahan organik, sam-pah dan serasah pada lahan tempat hidupnya.
Binatang kecil melata itu bisa disebut sebagai Pak Tani atau Petani karena dengan gerakannya dapat menggemburkan tanah yang keras. "Seperti bisa mencangkul. Di tanah yang keras, dengan gerakannya, bisa terbentuk pori-pori. Bila tanah sangat keras dapat dimakannya kemudian dikeluarkan kascingnya," ungkap Widiastuti.
Cacing mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kekuatannya bisa mencapai 40 kali berat badannya. Bila cacing tanah beratnya 50 kg maka bisa menggerakkan berat 2.000 kg. Memang cacing tanah mempunyai hormon tertentu yang dapat membuat badan-nya kuat.
Bergizi dan untuk obat
Di dalam dunia kesehatan, cacing tanah juga dimanfaatkan sebagai obat. Biasanya untuk obat penyakit tifus. Cacing tanah dikeringkan dan dijadikan tepung untuk dimasukkan ke dalam kapsul.
Anjuran para pengguna lainnya, supaya khasiatnya sebagai obat lebih jelas, cacing tanah dimakan segar. Untuk satu resep, 10 ekor cacing tanah diblender lalu diminum cairannya selama tiga hari.
Cacing tanah mengandung protein dengan asam amino lebih lengkap daripada ikan dan daging. Sehingga nilai gizinya lebih baik untuk makanan dan bahan kosmetik. Di Cina cacing tanah sudah dijadikan sebagai bahan campuran kue. Di Indonesia hanya untuk makanan ternak. Di Cina, cacing tanah sudah dimanfaatkan sebagai kosmetik dalam bentuk tepung cacing untuk menghaluskan kulit.
Klasifikasi
Dalam klasifikasi biologi, cacing tanah termasuk Ordo Oligo-chaeta, Kelas Chaetopoda, Philum Annelida. Dalam Philum Annelida terdapat 1.800 spesies cacing tanah yang dikelompokkan menjadi lima famili yang tersebar di seluruh dunia. Jumlah terbesar ada di Amerika Utara, Eropa dan Asia Barat, untuk Famili Lumbricidae dengan 220 spesies.
Cacing tanah mempunyai kisaran panjang dari beberapa milimeter sampai 91 cm. Tetapi biasanya panjangnya hanya beberapa centimeter.
Sistem pencernaan cacing tanah sangat adaptif dengan aktifitas makan dan menggali pori-pori tanah. Cacing menelan tanah (termasuk residu dekomposisi organik dalam tanah) atau residu dan sisa tanaman pada permukaan tanah.
Kemudian otot yang kuat mengolah material yang tertelan dan mengeluarkannya melalui sistem pencernaan yang mengandung cairan pencernaan berupa enzim dan bercampur dengan material itu. Cairan pencernaan itu mengeluarkan asam amino, gula dan molekul organik dari residu organik (termasuk protozoa hidup, nematoda, bakteri, jamur dan mikroorganisme lain). Molekul yang paling kecill diabsorbsi melalui membram intestinal cacing tanah yang digunakan untuk energi dan sintesis sel.
Cacing tanah tidak mempunyai pembagian pernafasan yang spesifik. Pertukaran dalam pernafasan terjadi melalui permukaan tubuh.
Cacing tanah tidak selalu bereproduksi dengan perkawinan dirinya sendiri melalui sistem hermaprodit ( masing-masing individu mem-punyai organ reproduksi jantan dan betina). Pertukaran sperma bersama terjadi di antara dua cacing selama perkawinan.
Sperma dewasa dan sel telur serta cairan nutrisi tersimpan dalam kokon yang diproduksi clitellum, conspicuous struktur sepertii korset dekat ujung anterior tubuh. Sel telur dibuahi oleh sel sperma dalam kokon, kemudian terlepas dan mengendap di dalam atau di atas tanah. Telur menetas setelah tiga minggu. Masing-masing kokon menghasilkan dua hingga dua puluh bayi cacing.
Cacing tanah dikelompokkan dalam tiga plasma yaitu Epigeic, Endogeic dan Anecic. Epigeic biasanya hidup di atas permukaan tanah dan memakan kotoran. Endogeic hidup di bawah permukaan tanah secara horizontal. Anecic hidup di lapisan tanah lebih dalam.

Pembuatan Kompos Dengan Cacing Tanah

*Pembuatan Kompos dengan Cacing Tanah

Melihat cacing tanah memang menjijikan. Tapi siapa sangka, kalau hewan yang satu ini memiliki banyak manfaat. Mulai dari bahan pakan, obat-obatan, kosmetika, sampai pembuatan kompos.
Cacing tanah mengandung protein lebih dari 70 %. Jenis cacing tanah yang biasa digunakan untuk membantu proses pembuatan pengomposan adalah Lumbricus terristis, Lumbricus rebellus, Pheretima definges, dan Eisenia foetida.
Cacing tanah ini akan menguraikan bahan-bahan kompos yang sebelumnya sudah dikomposisikan oleh mikroorganisme. Keterlibatan cacing tanah dan mikroorganisme dalam pembuatan kompos menyebab-kan cara kerjanya lebih efektif dan lebih cepat. Mau tahu cara pembuatan kompos dengan cacing tanah? Ikuti petujuknya di bawah ini:
1. Siapkan media tumbuh cacing tanah berupa bahan organik, jerami, rumput, batang pisang, kotoran ternak, dan kapur tembok.
2. Jerami, rumput, atau batang pisang dicacah menjadi ukuran yang lebih kecil. Rendam potongan tadi selama semalam. Perendaman ini bertujuan agar bahan baku kompos menjadi lebih lunak dan untuk menghilangkan sisa pestisida.
3. Campurkan bahan organik tadi dengan jerami atau batang pisang. Fermentasikan (diamkan) campuran tadi selama 1-2 minggu. Setelah itu, campurkan dengan kotoran ternak (75%) dan kapur tembok sedikit (untuk mengontrol pH). Aduk-aduk hingga bahan tercampur rata.
4. Masukkan media yang telah difermentasikan ke dalam parit, lalu biarkan hingga suhunya mulai turun atau biarkan sekitar 14 hari.
5. Setelah dingin, masukan cacing tanah dengan padat penebaran 11-14 gram/kg media.
6. Pelihara cacing tanah dengan memberi makan berupa kotoran ternak. Sebarkan kotoran ternak ini di bagian permukaan media setebal 2 cm dengan frekuensi 3 hari sekali. Kotoran ternak berfungsi juga sebagai media.
7. Jika media terlalu kering, lakukan penyiraman hingga media lembab kembali.
8. Lakukan pemanenan jika dalam media sudah tampak butiran kotoran cacing atau medianya sudah lebih halus dan warnanya lebih gelap. Panen dilakukan dengan cara memisahkan cacing tanah dengan media. Kascing yang dihasilkan siap digunakan sebagai pupuk organik.
Cacing tanah ini hanya salah satu media yang bisa kita gunakan dalam membuat kompos. Masih banyak lagi media lainnya yang diungkapkan Ir. Suhut Simamora, MS & Ir. Salundik, Msi dalam buku Meningkatkan Kualitas Kompos yang diterbitkan AgroMedia. Dalam buku ini, kedua penulis tadi juga memaparkan mekanisme proses pengomposan dan standar kualitas kompos.

Jumat, 26 Februari 2010

Semua Karena Jasa Cacing

Semua Karena Jasa cacing
Ignatius Sumarwoko tak berharap banyak ketika menanam padi. Ia menyadari kondisi tanahnya, di Desa Donokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyajarta, amat tandus, miskin hara, dan kering. Oleh karena itu menanam padi di desanya hanya usaha sampingan. Namun, ia mampu memanen 2,6 ton gabah kering dari lahan 8.000 m2.
Angka itu memang jauh di bawah produktivitas rata-rata padi organik di lahan subur yang berkisar 7 – 8 ton /ha. Namun, bagi Igantius Sumarwoko biasa dipanggil Woko hasil itu menggembirakan. Pasalnya, tanah yang ditanaminya itu miskin hara akibat ditanami tebu dan penggunaan pupuk kimia terus-menerus selama 20 tahun. Saat petani lainnya puso pada Juni 2006, ia malah memetik 8 kuintal gabah kering dari lahan 6.000 m2.
Dengan harga jual beras organik Rp. 7.500,- per kg, pria kelahiran 18 Oktober 1959 itu menangguk pendapatan Rp. 15 juta. “Rendemennya cukup tinggi, dari 2,6 ton gabah menjadi 2 ton beras,” tutur Sumarwoko. Bulir padi berukuran padat, bernas dan lebih besar. Padahal, biasanya dari volume yang sama ia hanya memperoleh 650 kg beras. Produksi dan rendemen padi itu meningkat setelah Sumarwoko menggunakan Kascing alias Kotoran cacing.
Untuk lahan 8.000 m2, ia menambahkan 1,2 ton Kascing setelah pengolahan tanah dan sebelum penanaman. Dengan harga kascing Rp. 15.000 per 20 kg, ia memang menggelontorkan dana Rp. 900.000. bandingkan ketika ia belum menggunakan kascing, Woko menghabiskan 6 kuintal pupuk kimia senilai Rp. 600.000. Setelah memanfaatkan vermikompos alias kascing biaya produksi memang lebih besar, tetapi laba bersih yang ditangguk kian besar.
Ia memanfaatkan kascing pertama kali pada November 2005 untuk mengembalikan kesuburan tanah yang miskin hara. “Saya tak mengharapkan hasil tinggi. Yang penting tanah subur dulu,” kata Woko. Ia kaget produksi padi meningkat 1,5 kali lipat. Sejak itulah ia rutin memanfaatkan kascing untuk budidaya padi organik. Produksi komoditas lain seperti ubijalar dan jagung yang dibudidayakan dengan kascingpun hasilnya melonjak.
Meningkat
Lain lagi pengalaman Ata, pekebun di Cilubang Tonggoh, Kabupaten Bogor, jawa Barat. Penanaman ubijalar dan jagung yang menggunakan kascing hasilnya melambung tinggi. “Ukuran umbi-umbijalar lebih besar, hingga 2 kali lipat,” tutur Ata. Padahal semula Ata ragu saat ditawari kascing. Saat itu ia menganggap harga beli kascing Rp. 17.500 per 20 kg terlalu mahal. Lagi pula ia tak yakin produksi tanaman maksimal. Setelah produsen kascing siap menanggung kerugian, ia membagi dua lahannya masing-masing seluas 600 m2.
Pupuk untuk masing-masing lahan itu berbeda. Di lahan A sebut saja begitu, ia menebar 200 kg kascing; lahan B, pupuk kimia. Tanah langsung ditanami bibit ubijalar Ipomoea batatas dan disirami hingga basah.
Pada bulan pertama, pertumbuhan tanaman di lahan B lebih pesat ketimbang ubijalar yang dipupuk kascing. Namun pada bulan ke-2, tanaman yang dipupuk kascing tumbuh pesat. Yang meng-gembirakan bobot ubijalar di lahan A mencapai 1,6 kg per tanaman atau total 1,2 ton; lahan B, tak lebih dari 1 kg per tanaman atau 7 kuintal.
Penggunaan kascing pada budidaya jagung juga meningkat-kan produksi hingga 40%. “Selain ukuran tongkol lebih besar, rasanya lebih manis,” kata pria 59 tahun itu. Bagaimana duduk perkara produksi melonjak setelah tanaman diberi Kascing ? Menurut ahli budidaya tanaman Ir Yos Sutiyoso, tingkat kepadatan bahan organik termasuk vermikompos sangat rendah. Sebagai gambaran, 1 m3 kascing setara 100 kg. Bandingkan dengan tanah yang mencapai 800 – 1.300 kg.
Karena kepadatan rendah, tanah menjadi remah, dan kaya oksigen. Sumarwoko dan Ata sepakat tanah mereka menjadi lebih gembur setelah dipupuk kascing. Rongga-rongga pupuk kotoran cacing itu juga mampu menahan air 40 – 60%. Yos Sutiyoso mengilustrasikan: orang yang berlari di tanah lapang lebih mudah dan lebih cepat. Sebaliknya, jika berlari di area yang padat dan penuh rintangan lebih sulit dan lebih lambat. Orang yang berlari itu adalah akar, sementara area padat dan rintangan adalah tanah nonporous, sangat padat. Sebaliknya tanah remah yang diberi kascing ibarat area lapang.
Kaya Nutrisi
Dampaknya akar tanaman lebih leluasa mencari unsur hara. Di ujung akar terdapat rambut akar yang panjangnya 2 cm. Jika tanah padat dan di sekelilingnya miskin hara, rambut hanya mampu bertahan 2 hari. Sebaliknya, jika tanah remah dan kaya nutrisi, rambut akar bertahan hingga 2 pekan. Karena pasokan nutrisi memadai, per-tumbuhan pun cepat. Hasil akhir dari kondisi itu adalah pening-katan produksi.
Selain itu, kascing pun mengandung humus yang kaya asam humik, asam fultik, dan humin yang mampu menjaga kelembapan dan kegemburan tanah. Berdasarkan riset Norman Q seperti dinukil oleh European Journal of Soil Biology, mengungkapkan produksi lada yang diberi ekstrak asam humik dari vermikompos lebih banyak dibanding yang berasal dari asam humik komersial.
“Makin tinggi kadar asam humik, makin subur tanah itu,” ujar Dr Ir Mashur Ms, ahli tanah dan peneliti vermikompos di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Azotobacter sp, bakteri penambat nitrogen non-simbiosis yang mengandung vitamin dan asam pantotenat, membantu memperkaya nitrogen dalam vermikompos. Dengan segala kelebihan itu, vermikompos salah satu pilihan untuk menjaga tanah gembur, meningkatkan produksi tanaman, dan mendongkrak laba. Semua itu Karena Jasa Cacing.

Cendera Mata Jadi Mesin Uang

*Cendera Mata Jadi Mesin Uang
Bukan selingkar cicin atau karangan bunga yang diterima Fransiskus Xaverius Tan Soe le saat pensiun. Hadiah yang ia terima setelah bekerja 37 tahun adalah 213 kg cacing. Cacing yang dianggap oleh sebagian orang menjijikan itu sebagai tanda mata. Dari sebuah desa kecil nan senyap di kaki Gunung Merapi, ia menuai 15 ton kascing alias kotoran cacing yang memberikan omzet Rp. 26 juta setiap bulan.
Pada Oktober 2004 masa tugas Fransiskus Xaverius Tan Soe le berakhir di Semarang, Jawa Tengah. Suhendro, muridnya, menghadiahi 213 kg cacing Lumbricus rubelus. Tan segera kembali ke kampung halamannya di Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, memboyong satwa melata itu. Ia memang ingin mengabdikan hari tuanya kepada petani. “Saya prihatin melihat petani yang selalu miskin,” kata Tan.
Di Kaliurang yang relatif dingin, suhu pada siang hari 25-27C pertumbuhan cacing kian pesat. Dari 213 kg cacing itu, ia memanen 1,7 ton vermikompos alias kotoran cacing per bulan. Ia mengemas vermikompos berbobot 20 kg dan menawarkan kepada para pekebun di Kaliurang dan sekitarnya. Sayang, tak seorang pekebun pun mau menngunakannya. “Petani terbiasa memakai pupuk dan pestisida kimia," ujar Tan. Padahal, kascing bebas residu dan meningkatkan kesuburan tanah.

Dari Mulut Ke Telinga
Tan tak menyerah begitu saja. Bersama Indra Gunawan, juga muridnya, ia terus membujuk agar pekebun sayuran memanfaatkan kascing sebagai sumber hara. “Saya tak menyerah karena ingin petani semakin maju,” ujar Tan. Usaha kerasnya membuahkan hasil, seorang pekebun akhirnya menggunakan vermikompos masing-masing untuk kebun salak dan padi.
Hasilnya menggembirakan ukuran buah lebih besar, manis, dan tekstur lebih keras. Penggunaan vermikompos pada padi meningkatkan jumlah anakan, hingga 20-25 batang. Produktivitasnya pun tinggi. “Bedanya sampai 50-70kg per 1.000m2,” kata Tan. Tanah yang digarap pun menjadi lebih gembur, sehingga akar tanaman leluasa mencari hara. Itu karena kandungan hara dalam kascing amat tinggi. Uji Laboratorium menunjukkan, kadar Nitrogen 1,79%, Fosfat 0,85%, Kalium 1,79%, Karbon 27,13%, Kalium Lengas 30,52%, dan Rasio Karbon Nitrogen 15,2%.
Yang unik, terdapat hormon dari air liur dan lendir satwa invertebrata alias tanpa tulang belakang itu. Faedahnya memacu pertumbuhan tanaman dan berperan sebagai antibiotik. Bila dilarutkan dalam air, lendir akan menjadi pupuk cair. “Perbandingannya 1:10, dan didiamkan selama 2 hari sebelum diaplikasikan,” kata Tan yang kini berusia 79 tahun.
Sukses dua pekebun menggunakan kascing, menjadi promosi yang efektif. Cerita keberhasilan itu beredar dari mulut ke telinga dan ke mulut. Setelah itu permintaan kascing mulai datang. Produksi kascing pun terus meningkat seiring dengan penambahan populasi anggota famili Lumbriciadae itu. Dalam 35 hari seekor cacing dewasa menghasilkan 5-15 kokon. Sebuah kokon kelak “melahirkan” 15 ekor cacing.



Ciri cacing dewasa: panjang lebih dari 5 cm, bergerak lamban, dan garis kuning di bawah perut serta gelang-gelang di tubuh berwarna merah tampak jelas. Begitu cepatnya berkembang biak menyebabkan dalam 3 bulan populasi satwa hermaprodit itu bertambah hingga 3 kali lipat. Oleh karena itu Tan tak perlu mem-beli indukan untuk melipatgandakan populasi satwa penyubur tanah itu.

Panen Setiap Hari
Cacing-cacing itu dihamparkan pada lantai semen seluas 5m X 1,5m X 0,15m. Saat ini Tan mengelola 4 rumah cacing berukuran sama di atas lahan 3.000 m2. Lantai disemen untuk mencegah cacing membuat liang-liang. Sedangkan dinding rumah berupa anyaman bambu. Media kascing berupa kotoran sapi dari 11 kelompok tani di Kaliurang, Yogyakarta. Ia membeli 1 ton kotoran sapi Rp. 50.000. “Sapi-sapi itu dipastikan murni hanya makan rumput,” kata Tan. Itu untuk menjaga pupuk yang dihasilkan bebas bahan kimia.
Tan pernah punya pengalaman buruk karena menggunakan kotoran sapi yang tercemar residu kimia. Dampaknya 1 ton cacing Lumbricus rubellus meregang nyawa. Padahal, di pasaran, harga sekilo cacing itu Rp. 50.000. Artinya kerugiannya mencapai Rp. 50-juta. Sejak saat itu Tan tak mau lagi menngunakan kotoran sapi potong.
Ia memilih kotoran sapi lokal karena teksturnya lembek dan lembab; kotoran kambing, terlalu keras dan permukaannya berminyak membuat cacing sulit menguraikan. Sedangkan kotoran kuda pun tak bagus untuk dibuat vermikompos karena selain panas, waktu penguraian lebih lama.
Dalam sepekan kelahiran Yogyakarta 16 Desember 1929 itu menambahkan 20 ton kotoran sapi baru. Setiap kali usai panen, ia mesti menambahkan kotoran sapi. Setelah sepekan, kotoran sapi berubah menjadi remahan halus tanpa bau seperti tanah, dan tanda siap digunakan sebagai pupuk. Rendemennya 70%.
Tan memanen kascing setiap hari dengan cara mengayak kotoran sapi yang telah diuraikan satwa yang bernapas dengan kulit itu. Setiap hari rata-rata kascing yang dihasilkan 2 ton. Total jenderal volume kascing mencapai 15 ton per pekan atau 60 ton sebulan. Semua produksi terserap pasar, bahkan cenderung kurang. Harap mafhum permintaan kascing kini kian tinggi. Tan yang pernah mendirikan sekolah pertanaian di Timor Timur itu menjual sekarung kascing berbobot 20 kg senilai Rp. 17.500.
Dalam sebulan rata-rata ia memasarkan hingga 30 ton kascing. Ia rutin memasok 12 ton kascing per 2 bulan ke Kerawang, Jawa Barat, dan 1 ton per bulan ke Malang. Belum lagi permintaan dari Magelang, Salatiga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, hingga Lombok terus mengalir deras. Saban bulan setidaknya Rp. 26-juta mengalir ke rekeningnya.
Ia percaya usahanya terus berkembang seiring banyak orang semakin peduli lingkungan. Kalau sudah begitu, kotoran cacing tak lagi menjijikkan. Ia justru menjadi mesin uang: letakkan kotoran sapi, biarkan cacing mengurainya, dan Tan menjual penyubur itu. Masa pensiun begitu indah bagi Tan.