Jumat, 26 Februari 2010

Cendera Mata Jadi Mesin Uang

*Cendera Mata Jadi Mesin Uang
Bukan selingkar cicin atau karangan bunga yang diterima Fransiskus Xaverius Tan Soe le saat pensiun. Hadiah yang ia terima setelah bekerja 37 tahun adalah 213 kg cacing. Cacing yang dianggap oleh sebagian orang menjijikan itu sebagai tanda mata. Dari sebuah desa kecil nan senyap di kaki Gunung Merapi, ia menuai 15 ton kascing alias kotoran cacing yang memberikan omzet Rp. 26 juta setiap bulan.
Pada Oktober 2004 masa tugas Fransiskus Xaverius Tan Soe le berakhir di Semarang, Jawa Tengah. Suhendro, muridnya, menghadiahi 213 kg cacing Lumbricus rubelus. Tan segera kembali ke kampung halamannya di Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, memboyong satwa melata itu. Ia memang ingin mengabdikan hari tuanya kepada petani. “Saya prihatin melihat petani yang selalu miskin,” kata Tan.
Di Kaliurang yang relatif dingin, suhu pada siang hari 25-27C pertumbuhan cacing kian pesat. Dari 213 kg cacing itu, ia memanen 1,7 ton vermikompos alias kotoran cacing per bulan. Ia mengemas vermikompos berbobot 20 kg dan menawarkan kepada para pekebun di Kaliurang dan sekitarnya. Sayang, tak seorang pekebun pun mau menngunakannya. “Petani terbiasa memakai pupuk dan pestisida kimia," ujar Tan. Padahal, kascing bebas residu dan meningkatkan kesuburan tanah.

Dari Mulut Ke Telinga
Tan tak menyerah begitu saja. Bersama Indra Gunawan, juga muridnya, ia terus membujuk agar pekebun sayuran memanfaatkan kascing sebagai sumber hara. “Saya tak menyerah karena ingin petani semakin maju,” ujar Tan. Usaha kerasnya membuahkan hasil, seorang pekebun akhirnya menggunakan vermikompos masing-masing untuk kebun salak dan padi.
Hasilnya menggembirakan ukuran buah lebih besar, manis, dan tekstur lebih keras. Penggunaan vermikompos pada padi meningkatkan jumlah anakan, hingga 20-25 batang. Produktivitasnya pun tinggi. “Bedanya sampai 50-70kg per 1.000m2,” kata Tan. Tanah yang digarap pun menjadi lebih gembur, sehingga akar tanaman leluasa mencari hara. Itu karena kandungan hara dalam kascing amat tinggi. Uji Laboratorium menunjukkan, kadar Nitrogen 1,79%, Fosfat 0,85%, Kalium 1,79%, Karbon 27,13%, Kalium Lengas 30,52%, dan Rasio Karbon Nitrogen 15,2%.
Yang unik, terdapat hormon dari air liur dan lendir satwa invertebrata alias tanpa tulang belakang itu. Faedahnya memacu pertumbuhan tanaman dan berperan sebagai antibiotik. Bila dilarutkan dalam air, lendir akan menjadi pupuk cair. “Perbandingannya 1:10, dan didiamkan selama 2 hari sebelum diaplikasikan,” kata Tan yang kini berusia 79 tahun.
Sukses dua pekebun menggunakan kascing, menjadi promosi yang efektif. Cerita keberhasilan itu beredar dari mulut ke telinga dan ke mulut. Setelah itu permintaan kascing mulai datang. Produksi kascing pun terus meningkat seiring dengan penambahan populasi anggota famili Lumbriciadae itu. Dalam 35 hari seekor cacing dewasa menghasilkan 5-15 kokon. Sebuah kokon kelak “melahirkan” 15 ekor cacing.



Ciri cacing dewasa: panjang lebih dari 5 cm, bergerak lamban, dan garis kuning di bawah perut serta gelang-gelang di tubuh berwarna merah tampak jelas. Begitu cepatnya berkembang biak menyebabkan dalam 3 bulan populasi satwa hermaprodit itu bertambah hingga 3 kali lipat. Oleh karena itu Tan tak perlu mem-beli indukan untuk melipatgandakan populasi satwa penyubur tanah itu.

Panen Setiap Hari
Cacing-cacing itu dihamparkan pada lantai semen seluas 5m X 1,5m X 0,15m. Saat ini Tan mengelola 4 rumah cacing berukuran sama di atas lahan 3.000 m2. Lantai disemen untuk mencegah cacing membuat liang-liang. Sedangkan dinding rumah berupa anyaman bambu. Media kascing berupa kotoran sapi dari 11 kelompok tani di Kaliurang, Yogyakarta. Ia membeli 1 ton kotoran sapi Rp. 50.000. “Sapi-sapi itu dipastikan murni hanya makan rumput,” kata Tan. Itu untuk menjaga pupuk yang dihasilkan bebas bahan kimia.
Tan pernah punya pengalaman buruk karena menggunakan kotoran sapi yang tercemar residu kimia. Dampaknya 1 ton cacing Lumbricus rubellus meregang nyawa. Padahal, di pasaran, harga sekilo cacing itu Rp. 50.000. Artinya kerugiannya mencapai Rp. 50-juta. Sejak saat itu Tan tak mau lagi menngunakan kotoran sapi potong.
Ia memilih kotoran sapi lokal karena teksturnya lembek dan lembab; kotoran kambing, terlalu keras dan permukaannya berminyak membuat cacing sulit menguraikan. Sedangkan kotoran kuda pun tak bagus untuk dibuat vermikompos karena selain panas, waktu penguraian lebih lama.
Dalam sepekan kelahiran Yogyakarta 16 Desember 1929 itu menambahkan 20 ton kotoran sapi baru. Setiap kali usai panen, ia mesti menambahkan kotoran sapi. Setelah sepekan, kotoran sapi berubah menjadi remahan halus tanpa bau seperti tanah, dan tanda siap digunakan sebagai pupuk. Rendemennya 70%.
Tan memanen kascing setiap hari dengan cara mengayak kotoran sapi yang telah diuraikan satwa yang bernapas dengan kulit itu. Setiap hari rata-rata kascing yang dihasilkan 2 ton. Total jenderal volume kascing mencapai 15 ton per pekan atau 60 ton sebulan. Semua produksi terserap pasar, bahkan cenderung kurang. Harap mafhum permintaan kascing kini kian tinggi. Tan yang pernah mendirikan sekolah pertanaian di Timor Timur itu menjual sekarung kascing berbobot 20 kg senilai Rp. 17.500.
Dalam sebulan rata-rata ia memasarkan hingga 30 ton kascing. Ia rutin memasok 12 ton kascing per 2 bulan ke Kerawang, Jawa Barat, dan 1 ton per bulan ke Malang. Belum lagi permintaan dari Magelang, Salatiga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, hingga Lombok terus mengalir deras. Saban bulan setidaknya Rp. 26-juta mengalir ke rekeningnya.
Ia percaya usahanya terus berkembang seiring banyak orang semakin peduli lingkungan. Kalau sudah begitu, kotoran cacing tak lagi menjijikkan. Ia justru menjadi mesin uang: letakkan kotoran sapi, biarkan cacing mengurainya, dan Tan menjual penyubur itu. Masa pensiun begitu indah bagi Tan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar